Home > Firqoh > Mengkafirkan Penguasa

Mengkafirkan Penguasa

Telah ditujukan sebuah pertanyaan berikut kepada al -‘Allamah al-Muhadditsin al-Albani Rahimahullah :
“Adalah telah jelas bagi anda wahai syaikh……. tentang medan Afganistan, disana terdapat banyak jamaah dan firqah-firqah sesat yang ternyata mampu menebarkan pemikiran-pemikirannya yang keluar dari manhaj salafu ash-shalih ke tengah-tengah para pemuda salafi yang ikut serta berjihad di Afganistan. Di antara pemikiran ini adalah Takfir (pengkafiran) terhadap para penguasa !, dan menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang menurut anggapan mereka sudah ditinggalkan, seperti pembunuhan. Sekarang, setelah para pemuda salafi ini pulang ke negerinya, mereka melancarkan penyebaran pemikiran dan syubhat-syubhat ini ke tengah-tengah kami. Oleh karena itu kami mengharapkan dari Fadhiilatikum untuk menjelaskan permasalahan ini. Jazakumullah khair.

Jawaban Syaikh Nashiruddin al-‘Albani sebagai berikut :
“Sesungguhnya masalah Takfir (pengkafiran), bukan saja terhadap para penguasa, tetapi juga terhadap rakyat (orang-orang di bawah kekuasaan para penguasa), merupakan fitnah lama yang dibangun oleh salah satu firqah Islamiyah yang sudah lama dikenal dengan nama Khawarij. Khawarij terdiri dari beberapa kelompok yang pernah disebutkan dalam beberapa kitab, diantaranya satu kelompok yang hingga kini masih tetap ada dengan sebutan lain yaitu al-Ibadhiyah .

Mereka mengatakan bahwa: “Kami bukanlah khawarij…….” Padahal antum semua mengetahui bahwa sebuah istilah lain tidaklah bisa mengubah hakekat suatu perkara yang barangnya sama. Dan ternyata mereka mempunyai sejumlah titik temu dengan khawarij dalam hal mengkafirkan orang-orang yang melakukan perbuatan dosa besar.

Sekarang, didapati sebagian jamaah Islamiyah yang mempunyai titik temu dengan dakwah haq dalam hal ittiba’ (mengikuti-pen-) kepada kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, akan tetapi sangat disayangkan bahwa mereka terjatuh kembali ke dalam sikap keluar dari al-Kitab dan as-sunnah dengan mengatasnamakan al-Kitab dan as-Sunnah.
Faktor penyebabnya ialah terpulang pada dua perkara yang berkenaan dengan pemahaman dan kritik.
Pertama: karena dangkalnya ilmu dan sedikitnya memahami agama.
Kedua, dan ini merupakan hal yang sangat penting: mereka tidak memahami kaidah-kaidah syari’ah padahal kaidah-kaidah ini merupakan asas dakwah Islamiyah yang shahih (benar) dan barangsiapa yang keluar darinya akan termasuk ke dalam firqah yang menyimpang dari jama’ah yang dipuji-puji oleh Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) dalam beberapa haditsnya, bahkan Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan sebuah dalil yang tegas lagi jelas bahwa barangsiapa yang keluar dari padanya, berarti ia telah melakukan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu firman Allah (yang terjemahannya) :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115).

Allah ‘Azza wa Jalla untuk suatu perkara yang sangat jelas bagi Ahlu ‘Ilmu, tidak membatasi firman-Nya (yang terjemahnya): ” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu,..”
Allah tidak mengatakan demikian, tetapi disamping “Penentangan terhadap Rasul”, Allah tambahkan pula “mengikuti (ittiba’) pada jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin”. Maka Dia berfirman (yang terjemahannya): “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Dengan demikian : “mengikuti jalannya orang-orang mukmin” dan “tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin”, merupakan perkara yang sangat penting berkenaan dengan positif atau negatif. Maka barangsiapa yang mengikuti jalannya orang-orang mukmin, maka dialah orang yang selamat di sisi Rabbul ‘Aalamin. Sedangkan orang yang menyelisihi jalannya kaum mukminin, maka cukup baginya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Dari sini tampak sekali kelompok-kelompok ummat yang sesat ………. baik zaman dahulu maupun kini, lantaran mereka tidak komitmen terhadap jalannya kaum mukminin. Tetapi disebabkan mereka lebih memperturutkan akal pikiran mereka, bahkan mengikuti hawa nafsu mereka di dalam menafsirkan al-Kitab dan as-Sunnah, selanjutnya di atas penafsiran yang demikian itu mereka membangun konklusi (kesimpulan) yang sangat berbahaya, di antaranya: “Keluar dari apa yang ditempuh oleh salaf ash-shalih”.
Point ini banyak dilupakan oleh kalangan orang yang seharusnya tahu, apalagi orang-orang awam, apalagi orang-orang yang dikenal sebagai jamaah takfir (jamaah yang suka mengkafirkan). Mereka itu, boleh jadi dalam kedalaman relung jiwa mereka, merupakan orang-orang shalih atau orang-orang yang ikhlash, akan tetapi hanya itu semata tidaklah cukup untuk menjadikan dirinya selamat dan beruntung di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.

Seorang Muslim haruslah menggabungkan dua perkara yaitu: ikhlash dalam berniat karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan baik dalam ber-ittiba’ kepada apa yang ditempuh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan demikian, tidaklah cukup seorang Muslim hanya bermodal ikhlash dan sungguh-sungguh dalam semangatnya mengamalkan al-Kitab dan as-Sunnah serta dalam mendakwahkan keduanya, tetapi haruslah ditambahkan padanya agar manhaj yang ditempuhnya adalah manhaj yang benar lagi lurus.

(disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 4/Th.III/1419-1998)

  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.